Oleh : AULIA AZIZ AL HAQQI.,SH.MH.
Advokat dan Konsultan Hukum
KRSumsel.com – Perjanjian adalah kesepakatan yang mengikat antara dua pihak atau lebih. Dalam konteks hukum, sebuah perjanjian dianggap sah jika memenuhi syarat-syarat tertentu, salah satunya adalah kesepakatan yang dibuat secara sukarela tanpa adanya paksaan, ancaman, atau penipuan.
Namun, dalam praktiknya, seringkali seseorang dipaksa untuk menandatangani perjanjian karena adanya tekanan atau ancaman dari pihak lain yang mengurangi kebebasan bertindak.
Paksaan dalam Perjanjian: Pengertian dan Implikasinya
Paksaan dalam konteks hukum perjanjian mengacu pada situasi di mana salah satu pihak merasa terpaksa atau tertekan untuk menandatangani perjanjian, baik melalui ancaman fisik, emosional, atau tekanan ekonomi.
Dalam hukum Indonesia, paksaan ini dikenal dengan istilah cogens, yang merusak kebebasan kehendak pihak yang terpaksa menandatangani perjanjian tersebut.
Jika paksaan terjadi, maka tidak dapat dianggap bahwa ada kesepakatan yang sah dan sukarela antara kedua belah pihak. Ini bertentangan dengan prinsip dasar dalam pembentukan perjanjian, yang mengharuskan adanya kesepakatan bebas tanpa adanya tekanan dari pihak manapun. Oleh karena itu, jika unsur kebebasan dalam membuat keputusan hilang, maka keabsahan perjanjian tersebut dapat dipertanyakan dan dapat dijadikan dasar untuk membatalkan perjanjian, karena bertentangan dengan syarat sahnya perjanjian.
Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) menyebutkan empat syarat sahnya perjanjian, yaitu:
1. Kesepakatan para pihak (consensus): Semua pihak yang terlibat dalam perjanjian harus sepakat tanpa paksaan, penipuan, atau kesalahan.
2. Kecakapan untuk membuat perjanjian: Pihak yang membuat perjanjian harus memiliki kecakapan hukum yang cukup untuk melakukannya, seperti tidak sedang di bawah pengampuan.
3. Suatu hal tertentu: Perjanjian harus memiliki objek yang jelas, seperti barang atau jasa yang diperjualbelikan.
4. Suatu sebab yang halal: Perjanjian harus didasarkan pada tujuan yang sah dan tidak melanggar hukum atau kesusilaan.
Syarat pertama dan kedua merupakan syarat subjektif, yang berkaitan dengan pihak yang membuat perjanjian.
Sedangkan syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif, yang berkaitan dengan objek perjanjian. Jika syarat subjektif tidak terpenuhi, perjanjian dapat dibatalkan (vernietigbaar), sementara tidak terpenuhinya syarat objektif mengakibatkan perjanjian batal demi hukum (nietig).
Baca juga: Hotman Paris Takut Mati, Mulai Ubah Gaya Hidup
Proses Pembatalan Perjanjian yang Ditandatangani di Bawah Paksaan dan Ancaman
Menurut hukum perjanjian yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, perjanjian yang dibuat dalam kondisi terpaksa atau di bawah ancaman dapat dibatalkan.
Pasal 1338 KUHPerdata menegaskan bahwa perjanjian hanya sah jika dibuat oleh pihak yang memiliki kecakapan hukum dan dilakukan tanpa adanya paksaan atau penipuan.
Oleh karena itu, paksaan atau ancaman yang menghilangkan kebebasan kehendak dapat mempengaruhi keabsahan perjanjian tersebut.
Pasal 1321 KUHPerdata juga mengatur bahwa perjanjian yang dibuat dengan paksaan atau ancaman dapat dibatalkan. Dalam hal ini, pihak yang merasa dipaksa atau diancam memiliki hak untuk mengajukan permohonan pembatalan perjanjian di pengadilan.
Untuk membatalkan perjanjian yang ditandatangani di bawah paksaan, pihak yang merasa dipaksa harus dapat membuktikan adanya paksaan tersebut.
Pembuktian ini dapat dilakukan dengan menghadirkan alat bukti, seperti saksi, rekaman percakapan, atau bukti lain yang dapat menunjukkan bahwa pihak tersebut berada dalam kondisi tertekan atau dipaksa untuk menandatangani perjanjian tersebut.
Pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan pembatalan perjanjian ke Pengadilan Negeri yang berwenang, dengan menyertakan bukti-bukti yang mendukung klaim bahwa perjanjian tersebut dibuat di bawah paksaan.
Pengadilan akan mempertimbangkan bukti yang ada untuk menentukan apakah syarat sahnya perjanjian, khususnya mengenai kesepakatan bebas tanpa adanya paksaan, telah terpenuhi atau tidak.
Oleh karena itu, kebebasan dalam berkontrak tanpa adanya paksaan adalah hak dasar yang dilindungi oleh hukum, yang menjamin bahwa setiap perjanjian yang dibuat hanya sah apabila didasarkan pada kesepakatan bebas tanpa tekanan atau ancaman dari pihak lain.
Jika Anda berada dalam kondisi terpaksa menandatangani perjanjian akibat ancaman, penting untuk segera memahami langkah-langkah yang perlu diambil, salah satunya adalah mengajukan pembatalan perjanjian melalui jalur pengadilan untuk memastikan bahwa perjanjian yang tidak sah tersebut dapat dibatalkan dan keadilan dapat ditegakkan.(****)