Jakarta, KRSUMSEL.com – Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno mengatakan, konsumen otomotif di Indonesia pada tahun 2025 masih didominasi dengan pembelian secara kredit.
“Nah dengan demikian menurut saya kalau pembelian kendaraan memang di Indonesia itu tetap akan lebih banyak kredit daripada cash,”kata Suwandi Wiratno kepada awak media di Jakarta, Sabtu (25/1).
Menurut dia, dengan banyaknya tantangan yang ada di 2025 mulai dari pajak tambahan Opsen dan juga Pajak Pertambahan Nilai 12 persen, para perusahaan pembiayaan justru lebih ketat dalam memuluskan permohonan masyarakat untuk memiliki kendaraan.
Jika hal ini tidak ditangani dengan benar oleh pemerintah bakal berdampak buruk bagi industri otomotif nasional dan kejadian di tahun 2024 bisa terus berlanjut di tahun ini.
Industri otomotif yang memiliki banyak mata rantai ini, dirasa perlu mendapatkan perhatian yang lebih agar nantinya industri tersebut bisa tumbuh dan tidak terjadi Pemutusan Hubungan Kerja yang cukup besar.
“Nah kalau tetap terjadi, penjualan mobil tinggal 700 ribu, tapi kalau tidak, minimal bisa terjadi PHK besar-besaran juga di Indonesia, terutama vendor-vendornya kan kasihan banyak UMKM,”jelas dia.
Baca juga: Understand the Advantages of Playing at the platform
Untuk urusan pajak tambahan Opsen, menurut dia ini sudah bisa diatasi dengan baik oleh pemerintah pusat dan juga daerah yang memiliki hak untuk memungutnya. Suwandi melanjutkan bahwa beberapa daerah sudah memberikan insentif yang berbeda-beda mulai ada yang tiga bulan hingga satu tahun lamanya.
“Tapi si gubernur mengatakan untuk tahun 2025 ini yang X itu saya kasih insentif sebesar X juga, jadi artinya tidak akan ada kenaikan kan sebenarnya, tapi insentif namanya yang ada menerapkannya 3 bulan, 6 bulan, ada yang setahun,”kata dia.
Tidak hanya dari segi kebijakan pajak yang memberikan tantangan untuk industri otomotif tanah air, kebijakan atau peraturan baru yakni SLIK yang merupakan catatan riwayat kredit seseorang yang dikelola oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga menjadi permasalahan baru bagi konsumen yang memiliki riwayat tidak positif.
“Sehingga dulu kalau 70-80 persen kita bisa terima dan kita setujuin, memang hari ini tinggal 60 persen. Nah sisanya kalau dia nggak bisa atau mampu beli, dia sementara harus bersihkan dia punya nama terlebih dahulu,”ucap dia.
Meski begitu, pihak-pihak yang memiliki catatan buruk dalam peminjaman di sebuah instansi perusahaan pembiayaan, mereka bisa mengajukan pemutihan atau pembersihan nama dengan berbagai cara.