Peringati May Day, Ratusan Buruh Tuntut Dibentuknya Dewan Pengupahan di OKI

KRSUMSEL.COM, OKI – Hari Buruh atau yang lebih dikenal dengan May Day, seolah menjadi momentum ratusan buruh dari berbagai perusahaan di Ogan Komering Ilir (OKI) untuk merayakan dan menyuarakan berbagai tuntutan mereka sebagai kelas pekerja.

Dalam peringatan May Day yang digelar di Taman Segita Emas Kayuagung tersebut, ratusan buruh yang tergabung dalam Federasi Serikat Buruh Perkebunan Patriotik Indonesia (F-Sarbupri) menuntut kesejahteraan dan perlindungan yang lebih baik bagi pekerja.

Koordinator Aksi Saiful Ansori mengatakan, di May Day kali ini, para peserta aksi menyuarakan permintaan untuk dibentuknya Dewan Pengupahan di OKI.

“Kami ingin OKI memiliki Upah Minimum Kabupaten (UMK) dan Upah Minimum Sektor (UMSK) sendiri,” ungkapnya, Rabu (1/5).

Menurut Ansori, tuntutan F-Sarbupri bukan tanpa alasan. Mereka menuntut hal tersebut dikarenakan OKI memiliki sejumlah besar perusahaan dan perkebunan kelapa sawit.

“Kami ingin seperti Kabupaten Muba dan Banyuasin yang sudah memiliki UMK tersendiri, untuk itu kami menuntut dibentuknya Dewan Pengupahan,” ungkapnya.

Tidak hanya menuntut dibentuknya Dewan Pengupahan, lebih dari 700 massa juga menolak sistem kerja kontrak (outsourcing) dan pemagangan, menentang pemutusan hubungan kerja (PHK), union busting (pemberangusan serikat pekerja) dan kriminalisasi aktivis buruh.

“Kami juga mendesak perlunya jaminan sosial yang lebih kuat daripada asuransi sosial, serta menolak Undang-Undang Cipta Kerja beserta peraturan pelaksanaannya,” tegas Ansori.

Di sisi lain, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) OKI, Irawan, memberikan tanggapannya terkait tuntutan Dewan Pengupahan.

Irawan berjanji, tuntutan buruh di May Day kali ini akan dibahas secara menyeluru. Dia mengatakan, pihaknya akan mempelajarinya terlebih dahulu karena memerlukan perhitungan dan waktu.

“Nanti akan ditinjau dari data BPS mengenai inflasi. Kami akan merekomendasikan metode perhitungan yang sesuai, apakah UMK atau UMP (Upah Minimum Provinsi) yang lebih tinggi digunakan,” ucapnya.

Secara angka, Irawan menjelaskan perbandingan UMP di OKI lebih tinggi dari rata-rata provinsi, yakni sekitar Rp 3,4 juta, sedangkan UMK hanya sekitar Rp 2,9 juta.

“Hal ini menjadi dasar rekomendasi untuk mengadopsi UMP saja, mengingat UMK bisa lebih merugikan para pekerja,” pungkasnya.