Baca Juga : Kisah Istri Rasulullah yang ‘Paling Panjang Tangannya’
Pendakian menuju puncak songolikur di gunung Muria ini memang belum ada basecampnya, yang ada hanya tempat penitipan sepeda motor dan pembayaran karcis mendaki sebesar 2000 rupiah per orang. Setelah memarkirkan sepeda motor dan membayar karcis masuk, kami pun bersepakat untuk langsung melakukan pendakian.
Sebelum mendaki tidak lupa kami berdoa terlebih dahulu agar diberi keselamatan, kesehatan, dan sampai di tujuan dengan selamat. Tepat sekitar jam 3 sore, pendakian menuju puncak songolikur pun dimulai.
Di awal-awal pendakian, kami sering menjumpai dan berpapasan dengan warga sekitar yang lalu lalang dari berkebun di gunung. Pemandangan hijaunya alam yang indah, tebing-tebing tinggi dan jernihnya air sungai menyapa kami di sepanjang perjalanan.
Sembari menikmati indahnya pemandangan, kami isi perjalanan ini dengan obrolan-obrolan ringan di antara kami. Ada momen lucu ketika kang Fakhri salah atau keliru dalam membaca sebuah papan peringatan yang ditempel di sebatang pohon. Papan yang bertuliskan ”dilarang menebang pohon” dibaca menjadi ”dilarang menendang pohon” oleh Kang Fakhri. Tentu saja hal itu membuat kami semua tertawa. Bahkan sepanjang perjalanan, kalimat tersebut akhirnya menjadi bahan guyonan di antara kami berlima.
Sekitar 30 menit berjalan mendaki, tepat di persimpangan jalur kami berhenti untuk beristirahat. Kebetulan ada seorang warga pencari kayu yang sedang melintas dan juga ikut beristirahat di dekat kami. Kami pun kemudian bertanya kepada bapak tersebut mengenai kedua jalur yang ada di depan kami.
Bapak tersebut menjelaskan bahwa dari kedua jalur itu, satu jalur langsung menuju puncak sedangkan satunya lagi juga menuju puncak tapi melalui sendang bunton dan ada musholla kecil untuk sholat. Mendengar keterangan dari bapak tersebut, akhirnya kami sepakat untuk melanjutkan perjalanan melalui jalur sendang bunton.
Saat berjalan menuju lokasi sendang bunton dengan mulai banyaknya tanjakan, masalah pun muncul. Hal ini disebabkan karena saya seperti kehilangan daya untuk melangkah, seakan tenaga saya sudah habis dan wajah terlihat pucat, maklum pertama kalinya mendaki gunung. Dengan terpaksa akhirnya kami memutuskan beristirahat kembali di depan sebuah gubuk.
Setelah dirasa cukup, dengan memaksakan berjalan pelan, tidak begitu lama akhirnya sampailah kami di sebuah tempat istirahat dan mushola kecil yang diatasnya juga terdapat sebuah sendang, yakni sendang bunton. Karena telah memasuki waktu ashar, kami akhirnya menyempatkan sholat ashar dan istirahat sebentar. Setelahnya kami mampir juga di sendang bunton untuk mencicipi airnya yang berasa seperti soda.