Krsumsel.com – Jamu merupakan warisan leluhur yang sangat berharga, karena minuman tradisional itu telah memegang peranan penting dalam pemeliharaan kesehatan dan kebugaran masyarakat di Indonesia, sejak ratusan tahun silam.
Jamu dapat juga disebut sebagai obat herbal asli Indonesia yang diracik menggunakan bahan-bahan alami untuk menjaga kesehatan dan juga menyembuhkan penyakit. Bahan-bahan yang digunakan cukup mudah ditemukan di lingkungan sekitar rumah, seperti menggunakan daun, rimpang, batang, buah, bunga dan kulit batang.
Jamu memiliki beberapa jenis, mulai dari yang berbentuk kapsul, tablet, saset dan tradisional, seperti jamu gendong. Dari berbagai jenis tersebut, jamu tradisional atau yang lebih dikenal dengan jamu gendong masih digemari masyarakat dari bermacam kalangan, baik anak-anak hingga orang dewasa.
Hal tersebut seperti jamu gendong asal di Dukuh Gunungan, Desa/Kecamatan Nguter, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, yang ada sejak dari nenek moyang dan sekarang turun-temurun hingga generasi penerus keluarga, karena jamu sebagai warisan budaya leluhur.
Seorang pedagang jamu gendong di Dukuh Gunungan itu, Sukoharjo, Yanti, menyampaikan bisa meracik jamu tradisional dari keluarganya. Mulai dari nenek turun ke ibu dan anak-anak hingga ke cucunya yang membantu sambil belajar cara meracik jamu gendong yang akhirnya sudah bisa mandiri.
Jamu gendong merupakan jamu hasil produksi rumahan. Jamu ini, dijajakan dengan cara memasukkannya ke dalam botol-botol. Kemudian, botol-botol itu disusun secara rapi di dalam bakul. Setelah itu, penjual jamu menggendong bakul yang berisi jamu tersebut saat berjualan keliling kampung. Sehingga, jamu itu, dikenal sebagai jamu gendong.
Biasanya para penjual jamu gendong memasarkan dagangannya dengan cara berkeliling setiap hari ke kampung-kampung, pasar, perkantoran dan daerah lainnya sebagai pelanggan. Penjual jamu gendong kebanyakan adalah kaum perempuan. Hal ini karena dahulu tenaga laki-laki lebih diperlukan dalam bidang pertanian.
Hal yang menarik dari jamu gendong adalah cara membawa barang dagangannya, yaitu digendong menggunakan kain batik atau jarik, dan sebagainya. Hal itu, yang menjadi ciri khas perempuan Jawa dari zaman dahulu.
Namun, karena perkembangan zaman, pedagang jamu gendong sekarang ada yang menggunakan kendaraan roda dua dengan membawa dagangan kotak tempat botol jamu di bagian belakang kendaraan.
Jumlah pedagang jamu gendong di Desa Nguter dahulu hanya sedikit, yakni sekitar lima hingga tujuh orang, tetapi sekarang sudah mencapai 50 pedagang. Kalau di wilayah Sukoharjo jumlah pedagang jamu gendong bisa mencapai ratusan orang.
Jamu gendong, seperti obat tradisional ketika memasuki pandemi COVID-19, banyak yang membutuhkan, baik anak-anak maupun orang tua untuk menjaga imunitas sehingga permintaan meningkat.
Penjual jamu gendong di Desa Nguter itu, setiap hari rata-rata membawa sekitar 13 liter jamu dengan sembilan macam. Jamu gendong yang dijual ada sembilan macam tersebut, antara lain beras kencur, kunyit asem, jahe, gula asem, sirih, daun pepaya, kulit manggis, temulawak, cabai puyang. Bahkan, ketika ada larangan menjual obat cair sirop karena memicu gangguan ginjal akut di apotek dan tokoh obat beberapa waktu lalu, berdampak pada permintaan jamu gendong yang meningkat hingga 50 persen.
Masyarakat semakin yakin bahwa jamu gendong atau tradisional sebagai obat herbal dapat menjaga kesehatan. Apa lagi musim hujan banyak anak-anak dan orang tua yang sakit batuk dan flu, setelah mengonsumsi jamu buatannya sakit bisa reda.
Bagi yang sakit batuk dan flu biasanya diberikan jamu beras kencur sirih ditambah jeruk nipis. Pelanggannya batuk dan flu bisa reda. Jamu yang minum, mulai anak-anak hingga orang tua sudah menyukai untuk kesehatan.(net)