Anies, Anak Guru yang Mengubah Guru

oleh
krsumsel

Oleh: Sismono La Ode

Lima tahun silam, sepucuk surat menggemparkan sejagat raya guru di penjuru negeri. Pesan yang ia tulis jelas bahwa sepanjang bertugas di Kemdikbud dan berkeliling ke penjuru Indonesia, ia selalu menemukan Mutiara berkilau di sudut-sudut tersulit Republik. Dinding kelas bisa reyot, tapi semangat guru, siswa dan orangtua tegak kokoh.

Sepucuk surat itu ditulis seorang diri di atas meja kerjanya, tepat setelah dicukupkan tugasnya sebagai Mendikbud. Lalu Lalang orang di ruang itu, tidak membuyarkan fokusnya mengirim pesan bagi guru-guru, pahlawan penuh jasa. Tak ada raut penyesalan, tekadnya hanya satu dan ditulis diakhir surat itu, berupa ajakan kepada seluruh insan pendidikan untuk meneruskan ikhtiar mencerdaskan kehidupan bangsa ini.

Banyak yang mengira bahwa hari itu adalah akhir segala bagi Anies Baswedan. Namun tidak untuk kami yang paham sosok yang dilahirkan dari pasangan guru ini.

Memang tidak semua orang tahu, kalau pria kelahiran Kuningan, 7 Mei 1969 adalah anak dari pasangan guru. Ayahnya bernama Awad Rasyid Baswedan, yang semasa hidupnya mengajar di kampus Universitas Islam Indonesia (UII) dan Ibunya adalah Aliyah Al Ganis mengajar di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), kampus pencetak guru, hingga akhirnya menjadi profesor/guru besar.

Sebelum memilih menjadi guru, Rasyid pernah ditawari menjadi pegawai bulog dengan gaji yang lebih tinggi, namun rejeki itu justru dia berikan pada sobatnya. Rasyid memilih mengajar di UII. Aliyah sendiri sejak awal memang sudah mantap memilih profesi pendidik. Sebelum mengajar di UNY, ia lebih dulu mengajar di IKIP Bandung (kini Universitas Pendidikan Indonesia, UPI). Panggilan hati menjadi pendidik sudah begitu kuat dalam diri mereka. Mereka yakin profesi guru adalah jalan mereka untuk mengabdikan diri pada bangsa.

Tak heran, selepas mengajar baik Rasyid ataupun Aliyah, tetap membuka pintu rumahnya bagi murid-muridnya. Dari rumah yang sederhana itulah murid-muridnya justru menemukan hakikat guru dalam diri kedua orangtua Anies. Kebijaksanaan, kesabaran, keramahan, kelembutan, kedisiplinan, kenyamanan, motivasi, dan keteladanan dalam diri mereka telah menginspirasi dan menggerakan murid-muridnya untuk bangkit dan menjadi orang berguna bagi agama, diri sendiri, keluarga, orang lain, bangsa dan negeri. Catatan-catatan inspirasi dari murid-murid kedua orangtua Anies dirangkum dalam Buku “Anak Guru: Potret Anies Baswedan Memetik Pelajaran Hidup dari Kedua Orangtuanya yang Pendidik” (2021).

Anies Baswedan memiliki tiga saudara kandung. Mereka adalah Ridwan Baswedan (alm), Eva Haiva Baswedan (almh), dan Abdillah Baswedan. Mereka tumbuh dan besar di Yogyakarta, di sebuah rumah sederhana gang Grompol, Sleman. Pada 11 Mei 1996, Anies Baswedan menikah dengan Fery Farhati Ganis. Kini pasangan ini dikarunia empat buah hati, diantaranya Mutiara Annisa, Mikail Azizi, Kaisar Hakam, dan Ismail Hakim.

Sejak kecil Anies dan saudara-saudaranya sudah terbiasa dengan dunia guru. Mereka tidak sekadar akrab dengan aktivitas mengajar orang tuanya, namun mereka menyaksikan sendiri bagaimana nilai-nilai digugu lan ditiru diterapkan kedua orangtuanya pada murid-muridnya, orang-orang dekatnya, dan anak-anaknya. Anies dan saudaranya pun telah terbiasa membaur dengan murid-murid orang tuanya. Tidak ada jarak bagi mereka.

Keluarga Rasyid Baswedan memiliki kebiasaan mendidik anak-anaknya di meja makan. Jika waktu makan tiba, berkumpullah mereka. Di awali doa lalu mengunyah makan sambil berkisah. Pak Rasyid tidak lupa mengisahkan kisah-kisah menarik ataupun pengalaman pada anak-anaknya. Pun Ibu Aliyah. Jika anak-anaknya bertanya, pastilah dijawab dengan baik, tertata, dan inspiratif. Sesekali anak-anaknya diminta bercerita. Apa saja. Pak Rasyid dan Ibu Aliyah berusaha menjadi pendengar yang baik. Keluarga Rasyid benar-benar menjadikan makan bersama sebagai ruang keluarga yang penuh kasih sayang dan demokratis.

Bahkan keluarga Rasyid juga membebaskan anak-anaknya untuk bermain sebagaimana anak kecil lainnya. Mulai bermain kelereng, bermain boi, hingga bermain air di selokan mataram utara fakultas kehutanan UGM. Keduanya hanya berpesan hati-hati, silakan bermain, jangan pilih-pilih teman, dan ingat waktu ibadah. Jika azan telah memanggil tidak ada alasan untuk tidak mensegerakan shalat.

Meskipun mereka adalah Pendidik, mereka tidak terlalu mewajibkan anak-anak memiliki nilai yang bagus, tapi anak-anak dengan kesadaran sendiri didorong untuk belajar dan Alhamdulillah, mereka terbukti memiliki nilai yang baik di sekolah.