Titik balik perubahan keseimbangan global itu terjadi saat dunia dilanda krisis finansial global tahun 2008. Yang luput dari perhatian publik, krisis tersebut dipicu perang dagang antara blok Amerika melawan Rusia dan Tiongkok. Tiongkok diuntungkan dalam perang dagang tersebut dan menjadi kekuatan ekonomi terbesar kedua dengan pertumbuhan dua digit, sementara Rusia terkena hantaman keras. Rusia membalasnya dengan mengambil alih Republik Krimea pada awal tahun 2014 dari Ukraina karena merasa terancam dengan sikap elit politik Ukraina yang hendak menjadi anggota Uni Eropa dan pakta pertahanan NATO.
Peradaban Barat mengalami tantangan paling berat sejak peristiwa tersebut. Sebelumnya menurut Fukuyama (1992), keruntuhan komunisme dipandang sebagai kemenangan kapitalisme dan demokrasi liberal. Namun Fukuyama dalam buku terbarunya _‘Liberalism and Its Discontents’_ terbit pada Maret 2022, orde liberal dunia mendapatkan tantangan keras dari segala hal yang merupakan versi ekstrem dari prinsip-prinsipnya sendiri.
Maka kita bisa melihat bagaimana kapitalisme mendapat tantangan dari nasionalisme ekonomi, demokrasi liberal yang elitis menghadapi ancaman populisme. Demi mempertahankan stabilitas politik dan ekonomi, Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Tiongkok Xi Jinping menggunakan jargon nasionalisme untuk melawan hegemoni Amerika, sembari mengubah konstitusi agar tetap mempertahankan kekuasaan otoriter mereka.
Bahkan Turki yang merupakan anggota NATO dan sekutu Amerika, mengubah konstitusi mereka sehingga Erdogan melanjutkan jabatannya dari Perdana Menteri menjadi Presiden dengan kekuasaan eksekutif, dan AKP sebagai partai beraliran Islamis dan kebijakan ekonomi pasar tetap menjadi partai penguasa dominan.
Krisis tidak hanya terjadi terhadap sistem politik dan ekonomi Barat. Sistem masyarakat mereka yang bercirikan individualisme menghadapi guncangan saat dunia dilanda pandemi Covid-19. Saat Tiongkok sukses menekan penyebaran wabah tidak lama setelah merebak pada awal tahun 2020, Amerika dan Eropa menghadapi protes keras warga yang tidak mau _lockdown_ dan menerima vaksin. Berbeda dengan masyarakat Tiongkok yang kolektif karena dipimpin rezim Partai Komunis yang otoriter, masyarakat Barat terbelah antara mereka yang mau mematuhi protokol kesehatan Covid-19 dengan mereka yang menganggap wabah ini rekayasa kaum globalis.
Polarisasi masyarakat Barat kemudian berimbas pada politik seperti yang terjadi dalam pemilu presiden Amerika dan Perancis. Dunia politik menjadi terpecah antara mereka yang menerima orde internasional liberal dengan mereka yang mencoba mendirikan orde populisme. Kita bisa mengamati bagaimana Amerika hampir mengalami pembangkangan sipil skala nasional ketika Presiden Donald Trump kalah dari Joe Biden. Presiden Emmanuel Macron yang menang tipis dari politisi kanan jauh Marine Le Pen, mengulangi pemilu lima tahun sebelumnya dengan kondisi masyarakat yang tengah mengalami kesulitan akibat kebijakan ekonomi Emmanuel Macron.
*Indonesia di Tengah Ancaman Krisis Pangan dan Kerentanan Kawasan*
Saat dunia mengalami krisis politik, ekonomi dan sosial sebagai dampak konflik global, Indonesia mengalami backwash effect yang tidak diduga sebagai negara subur di kawasan tropis yaitu kenaikan harga pangan. Invasi Rusia ke Ukraina membawa dampak kenaikan harga gandum dan minyak dunia, yang tentu saja berefek pada Indonesia sebagai negara importir gandum untuk keperluan pangan, dan kenaikan harga minyak berdampak tarif logistik.
Beberapa pengamat menganggap krisis harga pangan disebabkan kesalahan kebijakan Pemerintah. Misalkan kenaikan harga minyak goreng disebabkan kebijakan Pemerintah mengalihkan supply kelapa sawit untuk menghasilkan bahan bakar energi selain konsumsi pangan. Namun tentu saja pandemi dan krisis politik global adalah faktor utama ketidakstabilan ekonomi. Bisa dikatakan Pemerintah hampir tak dapat mengendalikan penyebab krisis tersebut.
Prinsip politik bebas-aktif Indonesia dalam situasi global hari ini juga membuat banyak negara yang berkepentingan menyeret kita untuk terlibat menggunakan tekanan. Singapura dan Malaysia dengan tegas bersekutu dengan Amerika, Inggris dan Australia dalam menyikapi klaim Tiongkok atas Laut Cina Selatan, berlainan dengan sikap Indonesia yang mengutamakan penyelesaian di meja diplomasi.
Indonesia mengambil sikap tersebut karena menjadi salah satu mitra dagang terbesar Tiongkok sejak lama, berbeda dengan Singapura dan Malaysia yang secara historis dan sosial merupakan sekutu Barat. Sikap yang sama juga terjadi dalam menyikapi invasi Rusia, jika Singapura menolak tegas langkah Rusia, seperti apa yang dikatakan PM Lee pada perayaan hari kemerdekaannya pada awal Mei 2022 lalu.
Indonesia menyesalkan eskalasi konflik Ukraina menjadi perang tanpa menyebut Rusia sebagai negara penyerang.
Dalam pertemuan antara para pemimpin ASEAN dengan Presiden AS Joe Biden pada 12 Mei 2022, perbedaan sikap itu tampak nyata. Pemimpin Singapura dan Malaysia bersikap tegas menolak klaim Tiongkok tentang _Nine Dash Line_ sementara Indonesia bersikap netral.
Amerika melanjutkan lobi politik menyekat Tiongkok pada _Quadrilateral Meeting_ di Tokyo pada 24 Mei 2022 dengan pemimpin Australia, India dan Jepang atau koalisi QUAD.
Dalam hal mempertahankan _freedom of navigation_ Amerika memang menunjukkan sikap asertifnya. Klaim Tiongkok atas LCS dipandang sebagai ancaman bagi kepentingan Amerika sebagai kekuatan maritim dominan di Samudera Hindia dan Pasifik. Oleh karena itu Amerika akan selalu menekan negara-negara kawasan Asia-Pasifik yang masih bersikap netral untuk memihak mereka.
Setelah Amerika menggunakan soft-diplomacy termasuk latihan perang besar-besaran dengan Indonesia pada tahun lalu bertajuk Garuda Shield, bukan tidak mungkin mereka akan menekan Indonesia secara keras melalui negara-negara sekutunya seperti Australia, Singapura dan Malaysia agar menunjukkan sikap memihak Amerika.