“Berbagi pengalaman sebelumnya, model kelembagaan dalam pencegahan karhutla tidak hanya pada membentuk organisasi tetapi juga harus didukung dengan pembauran anggaran semua pihak, peningkatan sumberdaya semua tingkatan klaster dan perlunya pendampingan kontinyu dari pihak profesional untuk menuju kemandirian Klaster”, ungkap Iwan Setiawan Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI)
Untuk mewujudkan kelembagaan berbasis klaster yang melibatkan multi pihak, Kabupaten bersama dengan KEMITRAAN melalui program Strengthening Indonesian Capacity for Anticipatory Peat Fire Management (SIAP-IFM) dengan dukungan dari United Nations Environment Program (UNEP). Ogan Komering Ilir menjadi salah satu dari 3 Kabupaten/Kota di Indonesia yang akan menjadi percontohan penerapan kelembagaan klaster untuk pencegahan Karthutla di Indonesia.
Ridha Yuanita Sutomo, Program Assistant SIAP-IFM KEMITRAAN menyebut program ini merupakan inisiatif bersama untuk mencegah kebakaran di lahan gmbut. “SIAP-IFM Project ini bertujuan untuk menerapkan praktek terbaik dan pendekatan inovatif Manajemen Kebakaran Terintegrasi, untuk mendukung Initiatif Gambut Global (Global Peatland Initiative) dan Pemerintah Daerah, dalam hal ini Kabupaten Ogan Komering Ilir”, jelasnya.
Ia menyebut, keberhasilan pembentukan kelembagaan berbasis klaster (kelembagaan secara mandiri) dapat mengantisipasi dan mendeteksi lebih awal potensi Karhutla sehingga dapat dicegah. Adapun keterlibatan multi pihak diharapkan membuat daerah lebih efisien dan terstruktur dalam mengelola sumber daya yang ada.
Diskusi menghasilkan beberapa poin penting terkait dengan rencana pencegahan Karhutla di OKI, diantaranya melegalisasi struktur organisasi klaster melalui SK- Bupati, membentuk tim kecil sebagai perumus untuk mendorong terbitnya peraturan pendukung, harmonisasi kelembagaan klaster dengan Satgas Karhutla dan membuat sekretariat kerja bersama Klaster di kantor BPBD.(Lilis)