KEPOLISIAN ABAD – 21

oleh
IMG-20210802-WA0018

Oleh :KOMPOL. SURYADI, SIK, M.H.

(Serdik Sespimmen Dikreg Ke – 61 Tahun 2021)

Palembang, KRSumsel.com- Beberapa waktu yang lalu, kita mendapatkan sebuah berita bahwa ada perlakuan yang kurang baik dilakukan oleh Aparat Kepolisian Amerika Serikat ketika tengah menjalankan tugasnya terhadap seorang warga berkulit hitam, George Floyd, yang menyebabkan kematian bagi Floyd, dan berujung pada protes massal di seantero negeri Paman Sam, disebabkan peristiwa itu rupanya direkam dan disebarkan dengan amat sangat viral.

Bukan kali ini saja Kepolisian Amerika mengalami tekanan yang begitu kencang seantero negeri. Dan itu memaksa para Pengambil Kebijakan di Institusi Kepolisian harus merespon dinamika dilapangan dengan amat sangat cermat dan hati-hati. Apalagi terhadap tuntutan dari masyarakat mengenai pembatasan kewenangan, transparansi, hingga akuntabilitas dari semua program kegiatan Kepolisian selama ini.

Jika meminjam istilah dari Charles H. Ramsey (2020), seorang Pensiunan Polisi yang sempat bertugas sebagai salah satu Penasehat Presiden Obama di bidang kepolisian, bahwa Kepolisian abad ini tengah “dipersimpangan jalan”.

Ramsey, dalam tulisannya berjudul, “The Challenge of Policing in the 21th Century”, yang dipublikasi di harian The Philadelphia Tribunne, menyatakan bahwa tugas kepolisian dewasa ini semakin berat dan melampaui apa yang pernah dibayangkan pada masa-masa sebelumnya.

Menurut Ramsey, dengan adanya fenomena media sosial, kecanggihan pada smart phone, dan mudahnya suatu informasi berkembang melesat dengan sekejap mata, membuat tuntutan masyarakat kian tinggi terhadap performa Kepolisian. Mereka tidak lagi sekedar berdiam diri dan menerima keadaan, jika mendapati ada satu-dua petugas yang mengabaikan pekerjaannya dan berlaku apatis dengan kehendak masyarakat, namun, cukup dengan menghidupkan kamera pada gawainya, dan merekam petugas tersebut, dalam hitungan persekian detik, Petugas yang apatis tadi bisa menjadi tontonan massal dan di bully habis-habisan.

Apalagi jika aparat Kepolisian tidak memiliki sensitifitas yang tinggi terhadap beberapa persoalan yang memiliki titik picu ledak yang luar biasa secara historikal—misal mengenai perlakuan arogan aparat kulit putih terhadap warga kulit hitam (atau juga kulit cokelat), maka bukan tidak mungkin, luka yang sebelumnya bisa disembuhkan, setidaknya dengan dipilihnya Presiden Obama secara demokratis, bisa membuat bekas luka tadi kembali ‘menganga’ dan berakibat pada munculnya gejolak sosial yang bisa membahayakan tatanan mapan sistem kenegaraan Amerika Serikat yang sudah berusia lebih dari 2 (dua) abad lamanya ini.

BERKACA DARI AMERIKA

Apa yang terjadi di Amerika, bukan tidak mungkin akan terjadi juga di sini. Dengan ragam suku-bahasa, pada dasarnya kita juga memiliki persamaan dengan Amerika; sama-sama tipikal masyarakat yang heterogen. Dan jika tidak dikelola secara cermat, bisa jadi keberagaman itu berubah menjadi hulu ledak perpecahan, apalagi jika performa Kepolisiannya yang sama seperti oknum di Amerika tadi; tidak menyadari bahwa sikap arogansi rasisnya itu, bisa meruntuhkan wibawa institusi, dan membuat gejolak sosial kian tidak terkendali.

Makanya Kepolisian mesti kita dorong untuk terus menuju garis moderat, dengan menjadikan nilai-nilai demokrasi sebagai acuan performa kinerjanya. Profesionalisme, independen, akuntabel, tranparan, hingga responsibilitas institusi, menjadi kosakata yang harus biasa ditelan bulat-bulat oleh Kepolisian. Dan yang lebih utama, untuk menanamkan nilai demokrasi itu sendiri kepada segenap anggota Kepolisian Indonesia.

Lebih daripada itu, harapan terhadap kepemimpinan Kapolri, Listyo Sigit Prabowo pun sebenarnya sangat besar dari semua kalangan masyarakat. Dan saya pikir, apa yang ditempuh Beliau, dengan sesegera mungkin menjalin silaturahim lintas Organisasi dan Kalangan Masyarakat, merupakan langkah konkret yang koheren dari peran essensial Kepolisian sebagai unsur perekat bangsa, ditengah gejolak sosial yang terus-menerus mengalami fluktuasi yang tidak bisa kita prediksi dikarenakan gesekan pada dimensi politik yang terus-menerus terjadi.

Langkah tersebut, dengan sedari dini menjalin komunikasi/silaturahmi yang intensif dengan Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan lainnya, merupakan langkah penasbihan bahwa di bawah Komando beliau, Polri sangat siap memasuki ‘Era Baru’ Kepolisian Modern yang menurut Ramsey sebelumnya, “tengah di persimpangan jalan”.

OPTIMISME DITENGAH BADAI

Menurut data dari Puslitbang Polri, Indeks Kepercayaan Masyarakat terhadap performa Kepolisian mengalami peningkatan, setidaknya dari tahun 2015 sampai dengan tahun 2018 yang lalu. Secara berturut-turut, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kinerja Polri pada tahun 2015 s/d tahun 2018 sebesar: 65,92%; 68,99%; 80,31%, dan 82,32 %.

Kemudian, sebagai tambahan, Hasil survey oleh Puslitbang Polri di tahun 2019 menunjukkan bahwa perspektif masyarakat terhadap layanan Kepolisian pada 5 (lima) indikator layanan Kepolisian memiliki kecenderungan baik. Hal tersebut diindikasikan dengan presentase kecenderungan penilaian baik terendah pada 5 (lima) indikator layanan Kepolisian adalah 57,86%, menunjukkan bahwa penilaian terendah masih di atas 50%.

Secara umum, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kinerja Polri pada 34 (tiga puluh empat) Polda mempunyai nilai sebesar 77,36 % dengan ranking tingkat kepercayaan pada 5 (lima) fungsi Kepolisian yaitu a. Fungsi Intelkam (86,46%); b. Fungsi Lantas (81,80%), c. Fungsi Binmas (83,54%), d. Fungsi Sabhara (79,71%), e. Fungsi Reskrim (57,86%).

Adapun ranking tingkat kepercayaan masyarakat berdasarkan 5 (lima) indikator layanan Kepolisian, yaitu : a. Kesesuaian (77,99%), b. Daya Tanggap (77,78%), c. Jaminan (77,37%), d. Keandalan (70,94%), e. Bukti Langsung (67,47%).

Berkaca pada kesemua raihan di atas, patut kita syukuri bahwa pada dasarnya performa Kepolisian tengah mengalami titik puncaknya. Kepercayaan masyarakat dan kepuasannya yang tinggi terhadap kinerja Kepolisian, kemudian ditopang juga kesadaran yang tinggi dari Pemimpin sentral Kepolisian untuk mendorong agar Kepolisian terus berada pada titik moderat, di tengah benturan dan gesekan masyarakat mengenai isu sosial politik, merupakan nilai plus yang sangat signifikan di dalam menggerek level of capacity lembaga ini menjadi lebih baik lagi.

Kemudian, jargon Kapolri, yakni “Presisi”, yang penjabarannya adalah “Prediktif”, “Responsibilitas” dan “Transparansi Berkeadilan”, pada dasarnya menjadi kekuatan tersendiri bagi lembaga. Sebagai Pimpinan Sentral, anggota memang harus diberikan tuntunan yang jelas mengenai arah mana yang harus ditempuh oleh mereka dalam bergerak dan melebur di tengah-tengah masyarakat, agar aparat di lapangan, bukan saja hanya menjadi corong dari Undang-Undang yang terkesan sebagai “microphone” aturan perundang-undangan saja, namun juga sebagai elemen yang mampu merekatkan segala kesenjangan dan perbedaan, untuk kemudian bertransformasi menjadi lembaga yang makin modern dari waktu ke waktu. Salam Polri Presisi !.(Kiki)