Oleh : KOMPOL. SURYADI, SIK, M.H.
(Serdik Sespimmen Dikreg Ke – 61 Tahun 2021)
OL. SURYADI, SIK, M.H.rdik Sespimmen Dikreg Ke – 61 Tahun 2021)
KRSumsel.com – Waktu itu bangsa ini diambang keterbelahan. Dampak dari Konferensi Meja Bundar, memaksa kita harus menuruti berbagai manuver diplomasi Belanda, yang notabenenya amat merugikan kita, baik dalam konteks teritorial kita, maupun juga keberdaulatan kita sebagai sebuah negara yang secara resmi sudah merdeka.
Di satu sisi, ada Kelompok Republik Indonesia Serikat, yang disokong oleh Pemerintahan Belanda, dan merasa memiliki legitimasi yang cukup untuk meneruskan laju perahu layar. Di sisi yang lain, ada pula kelompok Republik Indonesianya Soekarno-Hatta, yang merasa sama, masih legitimate dan juga didukung oleh rakyat kebanyakan.
Berbulan-bulan, sidang Majelis Konstituante, sebagai medium bertemunya titik beku masing-masing anak pribumi terbaik, yang merepresentasikan kutub ideologinya, berdebat dengan amat keras dan rigid, ketika mendiskusikan titik temu dari adanya 2 (dua) bentuk Pemerintahan ini.
Bagi mereka, jika hal fundamental ini tidak segera dicari jalan keluarnya, bukan tidak mungkin, skenario licin Belanda untuk kembali menguasai Indonesia, dengan jalan politik belah bambu model baru, dan juga politik negara boneka, akan memperoleh hasilnya dalam waktu yang amat sangat singkat.
Dalam sidang tersebut, kembali anak bangsa terbelah. Ada yang menginginkan, sebagai jalan keluar dari bentuk 2 (dua) pemerintahan ini, dengan menggunakan konsep federalisme ala Amerika Serikat. Masing-masing daerah akan memperoleh independensinya, namun harus mau tunduk di bawah naungan Pemerintahan Federal, sebagai payung dari negara daerah tadi.
Di sisi yang lain, ada pula kelompok prounitaris, yang menolak ide tentang federalisme dan adanya independensi yang sangat besar dan longgar, yang diberikan kepada daerah-daerah, sebab hal tersebut berpotensi memudahkan negara asing merongrong kedaulatan kita dari lini daerah tersebut.
Akhirnya pada 3 April 1950, dalam sidang, M. Natsir, seorang politisi dari partai masjumi, kelompok islamis, mengajukan usul terkait pembentukan negara kesatuan. Sebuah usul yang secara substansi, mengakomodir keinginan kedua faksi yang bertikai, federalis dan unitaris, guna mendapatkan otonomi dan semangat persatuan pada jalur yang bersamaan.
Segera, usul tersebut, yang kemudian dinamakan ‘Mosi Integral’, disetujui oleh semua faksi dan elemen, kemudian disusul oleh bergabungnya negara-negara federal di belahan Indonesia Timur ke dalam format Negara Kesatuan, dan mengukuhkan posisi Soekarno juga Hatta, sebagai Presiden dan Wakil Presiden, dan kemudian, sebagai bentuk apresiasi kepada Natsir, beliau ditunjuk Bung Karno sebagai Perdana Menteri dalam format Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
ILUSI NEGARA KERAJAAN
Munculnya ke permukaan beberapa kelompok warga negara, yang mengaku telah mendirikan kerjaan-kerajaan, dengan berbagai purwa rupa bentuk dan nama, tentu menggelitik kita sebagai sebuah manusia intelektual. Dalam konteks negara demokrasi, memang kita perlu merespon semua fenomena tersebut dengan kepala dingin dan hati yang jernih.
Pertama, fenomena ini tentu tidak hadir dari ruang hampa. Tentu ada lubang-lubang yang muncul, dalam wajah bernegara kita, dikarenakan kekurang-tanggapan pemerintah, dan mungkin kita semua sebagai warga negara, dalam mendudukkan kembali bahwa dari dahulu, hingga saat ini, NKRI tetaplah medium bersama yang kita sepakati dan yakini, guna merealisasikan cita-cita besar bangsa.
Sebagai sebuah wacana pemikiran, menurut penulis, tidak ada yang salah ketika ada sejumlah masyarakat, kemudian memiliki sebuah ilusi mengenai format ideal yang mereka impikan dan yakini kebenarannya. Makanya, kita perlu menarik mereka ke tengah-tengah medium diskusi, agar ilusi wacana yang tengah melanda mereka tersebut, bisa segera kita dudukkan perkaranya, dalam medium diskusi yang sehat dan terbuka.
Sehingga, ada tukar-menukar pemikiran dan pengalaman, dan proses penggalian ke dalam alam psikologis mereka, kira-kira apa yang membuat mereka secara sadar, mengusung pemikiran model ‘negara kerajaan’, dan mengapa mereka malah menegasikan format NKRI yang diikhtiarkan oleh para bapak bangsa (founding fathers kita), dengan jalan yang amat berliku.
Kedua, fenomena ini juga semakin menjelaskan bahwa, konten sosialisasi 4 pilar yang selama ini menjadi program jagoan dari berbagai stakeholder, perlu dievaluasi secara seksama. Jika memang konten tersebut relevan dengan semangat zaman, dan tersampaikan dengan baik, tentu, semua fenomena tersebut tidak akan menemukan relevansinya.
Sebab, program tersebut didukung dengan dukungan anggaran yang cukup besar. Dan kalau dalam pemberitaannya, program tersebut mampu menjangkau konstituen dengan amat lebar.
Tetapi faktanya, kehadiran fenomena ‘negara kerajaan’ ini membuat kita sadar bahwa, perlu ada pembaharuan di dalam konten program tersebut. Perlu juga metode sosialisasinya mempertimbangkan karakteristik pada setiap kelompok yang ada di masyarakat, disesuaikan dengan umurnya.
Metode sosialisasi kepada kelompok umur di atas 50-an, tentu berbeda dengan metode sosialisasi kepada kelompok umur di atas 30-an, apalagi kepada kelompok yang berumur remaja di usia 15 sampai dengan 20an tahun. Perlu juga kita mempertimbangkan agar adanya strategi sosialisasi dengan memanfaatkan media sosial, yang hari ini, telah menjangkau berbagai lini usia di negeri ini, sehingga, di samping kita tetap memaksimalkan jalur pendidikan formal, tetapi juga kita terus memodifikasi metodologi sosialisasi kita sesuai semangat zamannya.
Ketiga, fenomena ‘negara kerajaan’ tersebut perlu pula kita lihat dalam lensa ekonomi. Bisa saja fenomena ini lahir, dengan memanfaatkan perasaan ketidakberdayaan dari para pengikutnya, yang merasa gagal dalam mengarungi kompetisi kehidupan hari ini yang semakin mencekik leher.
Kegagalan demi kegagalan itulah, yang kemudian dibaca oleh segelintir orang sebagai peluang, untuk mengembangkan wacana ‘ilusi negara kerajaan’, mulai dari semodel sunda empire, atau yang lainnya, dan menjual mimpi kosong tentang pangkat dan jabatan yang tinggi, ketika bergabung di dalam komunitas mereka tersebut.
Dalam perasaan yang penuh ketidakberdayaan, minus pemahaman tentang histori bangsa dan negara, akhirnya, ada saja kelompok masyarakat yang mau memakan mimpi-mimpi kosong tersebut, meskipun harus menyetor uang sekian juta rupiah, asalkan, mereka, dalam komunitas yang ilutif tersebut, mereka dijanjikan berbagai macam previledge dalam konteks jabatan mentereng (Misal: Menjadi Kaisar, Sekretaris Jenderal, apalagi Perdana Menteri). Mereka yang level pendidikannya rendah, tentu akan sangat tertarik dan bangga, jika bisa diangkat (atau dilantik) sebagai pengisi jabatan mentereng tersebut.
KEMBALI KE MOSI INTEGRAL
Sejarah selalu menjadi guru terbaik bagi umat manusia. Dengan banyak belajar tentang ilmu tersebut, kita akan banyak dapati hikmah dan pengalaman-pengalaman dari manusia-manusia masa sebelumnya, di dalam mengambil keputusan, tindakan, hingga ketika merumuskan sebuah pemikiran yang baru (genuine).
Maka, menarik diskursus hari ini, dengan mengenang kembali Mosi Integral dari Mohammad Natsir, tentu sangat relevan.
Karena pertama-tama, Natsir ini adalah seorang politisi muslim, yang berasal dari Partai Masjumi, dan lahir dari rahim pergerakan PERSIS. Sebagai mana yang banyak diulas dan dibahas oleh para cendekiawan yang meneliti tentang indonesia (indonesianis), politisi muslim kebanyakan selalu datang ke permukaan panggung politik dengan membawa mimpi akan negara islam. Dan mereka selalu hadir dengan romantisme masa lalu seputar kejayaan era kekhalifahan islamiyah sekian abad yang lalu.
Namun apa yang dilakukan oleh Natsir, dan juga Partai yang menaunginya, Masjumi, justru sebaliknya. Dibanding memanfaatkan medium Majelis Konstituante tersebut guna mensosialisasikan wacana negara islam, justru Natsir menampik semua retorika romantik tersebut, dan masuk ke inti persoalan dengan mempelajari satu demi satu, setiap ekspektasi dan hasrat dari masing-masing kelompok yang berasal dari faksi federalis dan faksi unitaris, untuk kemudian melalui proses riset yang singkat tersebut, dia malah merumuskan mosi integral yang justru semakin mempersolid semangat nasionalisme kebangsaan, dibandingkan nasionalisme partisan yang belum tentu bisa diterima oleh kelompok-kelompok dari aliran pemikiran, dan aliran keagaaman lainnya.
Ilusi tentang adanya negara kerajaan, yang ‘katanya’, memiliki kemampuan untuk mengkonsolidasikan berbagai negara di dunia ini, termasuk negara-negara kuat, untuk duduk bersedekap di bawah naungan kerajaan-kerajaan ilutif tadi, tentu hanya sebuah ilusi pemikiran yang tengah menjangkiti para peyakinnya. Mereka yang masih tersadar, atau waras, tentu akan segera paham bahwa retorika ilutif tersebut sangat tidak rasional dan dibaluri dengan banyak celah kebohongan.
Namun, jika selama itu pula, negara terus menganggap remeh fenomena itu, bukan tidak mungkin, gerakan yang awalnya hanya berbentuk wacana pemikiran ini, akan bertransformasi menjadi sebuah gerakan sosial yang secara serius, menantang dominasi dan eksistensi dari NKRI. Sebab, meskipun kita sepakat secara mayoritas bahwa argumen di balik fenomena itu terlalu dangkal, namun faktanya, dibalik kedangkalan berpikir itu, mereka mampu menghimpun banyak warga negara untuk bergabung di dalamnya. Maka, waspadalah Indonesiaku. (Kiki)