Politik Hukum Larangan Minuman Beralkohol di Indonesia

oleh
IMG-20210802-WA0018

Oleh :KOMPOL. SURYADI, SIK, M.H.

(Serdik Sespimmen Dikreg Ke – 61 Tahun 2021)

PALEMBANG,KRSumsel.com.-Minuman beralkohol (minol) merupakan salah satu barang produksi yang secara kriminogen memiliki keterkaitan erat dengan sebab musabab timbulnya kejahatan/kriminalitas di masyarakat. Secara tidak langsung, kausalitas pada sektor hilir terjadinya kejahatan/kriminalitas (khususnya yang terkait dengan street crime) dan/ataupun tindak pidana lainnya memiliki hubungan yang cukup dekat/erat.

Dapat dilihat bagaimana ekses negatif dari penggunaan minuman beralkohol, khususnya yang terkait dengan minuman alkohol (tradisional/oplosan), yang tidak saja meresahkan/menganggu stabilitas keamanan di masyarakat, namun juga telah banyak menimbulkan korban jiwa, dan dalam tataran yang lebih exclusive juga banyak tindak pidana penyalahgunaan produksi minuman beralkohol itu sendiri.

Melalui ruang opini singkat ini, akan coba ditelisik secara singkat bagaimana sejatinya kedudukan dalam arti existing rule yang ada terkait minuman beralkohol dalam hukum positif dikaitkan dengan peran, tugas dan fungsi Polri baik dalam dimensi security and public order maintenance maupun dalam dimensi law enforcement, serta bagaimana politic will pemerintah saat ini menyikapi maraknya penyalahgunaan minuman beralkohol, serta dengan titik berat melihat ius constituendum yang saat ini telah dirumuskan dan dibahas oleh stakeholder terkait berupa pengaturan holistik dan komprehensif tentang pengaturan minuman beralkohol di Indonesia.

ASPEK SUBSTANTIF

Minuman beralkohol (minol) sebagai salah satu komoditi perdagangan dan perindustrian, pada hakikatnya memiliki dimensi global karena massive-nya dampak yang ditimbulkan, baik dari sisi kesehatan, ekonomi, sosial, budaya, dan kriminalitas.

Minol menjadi perhatian banyak negara karena dampaknya yang bersifat multi efek, termasuk di Indonesia. Indonesia sebagai salah satu negara yang keberagaman budaya dan agama memiliki aturan tersendiri mengenai peredaran dan penjualan minol.

Namun, tingkat kejahatan yang timbul dari minol sangat tinggi di Indonesia. Di sisi lain, negara mempunyai tanggung jawab untuk memberikan jaminan perlindungan bagi kesehatan masyarakat dan perlindungan hukum terhadap dampak minol. Untuk melaksanakan tanggung jawab negara tersebut, telah ada political will yang dihasilkan sebagai suatu politik hukum pengaturan minol, baik berupa kebijakan maupun regulasi dalam peraturan perundang-undangan. Hukum positif tersebut cukup banyak dan tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan dan belum ada suatu pengaturan yang komprehensif mengenai minol. (Prianter Jaya Hairi, dkk, 2019 : 7 – 8)

Dapat dilihat sejauh ini sebagai ius constitutum, politik hukum pengaturan minuman beralkohol selama ini, telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang materi muatannya berkaitan dengan minuman beralkohol, diantaranya UUD Tahun 1945, KUHP, UU Perdagangan, UU Perindustrian, Perpres No. 74 Tahun 2013, Perpres No. 44 Tahun 2016, Peraturan Menteri Perindustrian Nomor No 63/M-IND/PER/7/2014 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 63/M-IND/ PER/8/2015 tentang Pengendalian dan Pengawasan Industri dan Mutu Minuman Beralkohol, Peraturan Menteri Perdagangan No. 20/M-Dag/ Per/4/2014 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 72/M-DAG/PER/10/2014, peraturan daerah provinsi, dan peraturan daerah kabupaten/kota.

Dalam tataran implementatif, sebagai catatan dan evaluasi diawal banyak sekali disharmonisasi diantara pelbagai aturan tersebut yang mengatur ikhwal minuman beralkohol, dan juga tidak adanya keseragaman cara pandang dari para stakeholder terkait dalam melihat pengaturan minuman beralkohol itu sendiri, yang mana tentu sangat mendegradasi optimalisasi penegakan hukum dari penyalahgunaan minuman beralkohol di masyarakat.

Catatan lainnya, secara empirik juga menunjukkan bahwa aparatur penegak hukum, khususnya Kepolisian dalam penegakan hukum, lebih sering menggunakan peraturan daerah maupun undang – undang sektoral yang mempunyai relevansi dengan tindak pidana yang timbul sebagai akibat dari minuman beralkohol, dan secara lebih integratif memang belum ada peraturan yang secara holisitik, integral dan komprehensif mengatur mengenai larangan/penyalahgunaan minuman beralkohol di masyarakat.

Pada tataran tekhnis, dalam fungsi polri memelihara kamtibmas yang kondusif, penyalahgunaan minuman beralkohol banyak ditemukan dalam pelanggaran/kriminalitas yang bersifat street crime atau yang terkait dengan kejahatan jalanan, dapat dilihat bagaimana banyak pengaruh minol yang mendasari atau menjadi salah satu stimulate dari kriminalitas/kejahatan yang terjadi.

Begitupun pada tataran strategis, juga melihat banyaknya penegakan hukum terhadap penyalahgunaan minuman beralkohol yang illegal, yang pada umumnya banyak dilakukan oleh para importir atau produsen besar dari minuman beralkohol.

Dapatlah dilihat, kebutuhan akan pengaturan minuman beralkohol yang holistik berupa sebuah peraturan perundang-undangan, merupakan sebuah tuntutan yang cukup urgent diperlukan saat ini. Dan dalam perkembangannya, telah ada sebuah naskah produk peraturan perundang-undangan yang saat ini telah dibahas di dalam forum legislatif, guna mendapat persetujuan dalam pembahasan, yang mana sekiranya hal tersebut perlu didukung untuk sesegera mungkin dituntaskan/diselesaikan.

ASPEK HISTORIS/FILOSOFIS

Dapat dilihat senyatanya draft RUU Larangan Minuman Beralkohol yang saat ini telah masuk dalam prolegnas prioritas dan telah dibahas, didasari dengan tujuan dan semangat agar berbagai macam persoalan yang terjadi di masyarakat, yang terkait dengan penyalahgunaan minuman beralkohol; apakah itu terkait dengan peredaran minuman beralkohol, banyaknya korban yang jatuh akibat minuman beralkohol, dapat diatasi dengan sebuah regulasi yang secara khusus mengatur mengenai minuman beralkohol di Indonesia.

Selain itu semangat yang ada dari lahirnya RUU ini ialah agar dapat memberikan dan memastikan regenerasi ke depan terlepas dari pengaruh minuman beralkohol secara berlebihan (addicted), yang dapat mengganggu kesehatan (fisik dan mental) serta mengancam keberlangsungan generasi muda yang berkualitas dan potensial. Kiranya secara tersirat inilah landasan filosofis lahirnya politik hukum ini, yang memiliki orientasi guna meningkatkan derajat kesehatan masyarakat secara luas.

Kemudian, RUU ini diinisiasi guna melindungi masyarakat dari dampak negatif yang ditimbulkan oleh minuman (objek) dan peminum minuman beralkohol (subjek), dan juga untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat mengenai bahaya minuman beralkohol. Sebab, telah dijelaskan sebelumnya bagaimana kausalitas terjadinya kejahatan yang secara potensial disebabkan oleh penyalahgunaan minuman beralkohol.

POLITIK HUKUM : MATERI LEGISLASI

Satu dari sekian banyak dinamika yang ada di dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Larangan Minuman Beralkohol hingga saat ini ialah terkait dengan penentuan sifat materi pengaturan yang hingga saat ini belum menemui titik temu diantara para stakeholder terkait.

Secara prinsip sifat materi pengaturan dari RUU ini tercermin secara ‘lugas’ dan ‘vulgar’ di dalam judul dari RUU ini, di mana pada dasarnya menginginkan sebuah pengaturan yang bersifat pelarangan secara terbatas (prohibition with exceptions) terhadap penggunaan minuman beralkohol di Indonesia.

RUU ini pada prinsipnya tidak melarang secara total (absolut) penggunaan minuman beralkohol di Indonesia, akan tetapi masih memberikan ruang (pengecualian) penggunaan minuman beralkohol secara terbatas.

Pada batang tubuh dari draft RUU inisiatif DPR RI, khususnya di dalam ketentuan pada Pasal 8, diatur bahwa larangan yang dimaksud dalam RUU ini tidak berlaku untuk kepentingan terbatas (pengecualian), kepentingan terbatas sebagaimana dimaksud ialah untuk kepentingan adat, ritual keagamaan, wisatawan, farmasi dan tempat – tempat yang diizinkan oleh peraturan perundang-undangan. Artinya, bahwa draft awal RUU ini masih memberikan ruang (space) terhadap kepentingan terbatas sebagaimana dimaksud.

Namun sebaliknya eksekutif (pemerintah), secara essensial menginginkan sebuah pengaturan (regulasi) yang bersifat pengendalian dan pengawasan terhadap keberadaan minuman beralkohol yang ada di Indonesia, baik dari sektor hulu sampai ke hilir, dari proses produksi, distribusi sampai dengan konsumsi oleh masyarakat.

Konsep pengendalian dan pengawasan dari Pemerintah, pada prinsipnya juga memiliki klausul tentang ‘pelarangan’ yang secara spesifik tercantum di dalam ketentuan Pasal 18 sampai dengan Pasal 21, yang merupakan bagian dari Bab tentang pengendalian konsumsi minuman beralkohol.

Secara sistematis dan objektif, apabila dilihat lebih jauh, draft RUU dari pemerintah yang termanifestasi di dalam Daftar Inventaris Masalah (DIM), memiliki ruang lingkup yang lebih ‘komprehensif’ dibandingkan dengan draft awal dari legislatif. Adapun sistematika DIM dari pemerintah terdiri dari 7 (tujuh) BAB dengan 37 Pasal sedangkan draft awal RUU dari legislatif terdiri dari 7 (tujuh) BAB dengan 24 Pasal.

OUTPUT : ISU KRUSIAL

Secara komparatif dapatlah dillihat bahwa terdapat 2 (dua) arus paradigma (sudut pandang) serta titik berat yang berbeda di dalam melihat keberadaan minuman beralkohol di Indonesia melalui politik hukum pengaturan larangan minuman beralkohol.

Secara substantif, dalam hal ini legislatif lebih menitikberatkan pada sektor hilir, yakni pada sektor distibusi dan konsumsi minuman beralkohol. Sedangkan sebaliknya pemerintah lebih menitikberatkan pada sektor hulu, yaitu arus produksi minuman beralkohol di Indonesia, baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri (impor).

Oleh karenanya, sebenarnya kedua perspektif tersebut diatas berada dalam satu arus yang sama, yaitu ingin melakukan pengetatan dan pembatasan terhadap arus produksi, distribusi dan konsumsi dari minuman beralkohol, agar meminimalisir penyalahgunaan minuman beralkohol di masyarakat yang sangat potensial menganggu kondusifitas kamtibmas dan menyebabkan terjadinya kriminalitas.

Oleh karenanya, sebagai output akhir, publik sangat mengharapkan agar politik hukum larangan minuman beralkohol di Indonesia, yang dimanifestasikan dalam sebuah produk peraturan perundang-undangan, yang saat ini telah dibahas dan menjadi agenda prioritas legislasi nasional dapat diselesaikan secara tuntas, mengingat kebutuhan dan tuntutan akan pengaturan tentang minuman beralkohol dalam tataran praktik/empirik.

Apapun nantinya pilihan yang dihasilkan, apakah nantinya politik hukum ini memiliki arah dan sifat pengaturan yang bersifat pelarangan secara terbatas (dengan pengecualian), ataupun bersifat pengendalian dan pengawasan sebagaimana yang diinginkan, yang jelas publik menaruh harapan besar agar regulasi yang dihasilkan nantinya akan dapat mengatasi dan/atau setidak-tidaknya meminimalisir berbagai dampak negatif yang ditimbulkan oleh minuman beralkohol, baik dari sisi faktor kriminogen penyebab kejahatan, maupun gangguan terhadap kondusifitas keamanaan dan ketertiban di masyarakat. (Kiki)