“Ternak warga yang terpaksa dijual itu tetap dihargai sesuai harga pasaran, kalaupun ada selisih itu tidak banyak jauh dengan harga pasaran. Misalnya satu ekor sapi harga pasaran Rp20 juta, mereka jual dengan harga Rp19 juta atau Rp18 juta,” katanya.
Ia mengatakan, hampir semua alasan warga yang menjual ternak mereka karena alasan agar tidak repot mengurusnya, karena sedang berada di barak pengungsian.
“Warga yang menjual ternaknya juga lebih banyak karena ingin mengurangi beban dan agar tidak repot mengurus. Mereka mengurangi jumlah ternaknya, karena yang menjual ternak ini rata-rata mereka yang memiliki ternak lebih dari satu,” katanya.
Joko mengatakan, BPBD Sleman juga telah memfasilitasi kandang penampungan ternak milik pengungsi di beberapa titik yang dinilai aman. Ada yang dititipkan di kandang komunal di daerah yang aman dan di kandang penampungan sementara.
“Kami juga membangun kandang penampungan di Lapangan Kalurahan Glagaharjo agar pengungsi yang berada di barak Glagaharjo dapat lebih dekat untuk mengurus ternaknya. Kandang penampungan ini cukup luas. Kami juga membuat bilik di dekat kandang penampungan sehingga pemilik dapat menjaga dan mengawasi ternaknya,” katanya.
Sedangkan Panewu Cangkringan Suparmono mengatakan bahwa aktivitas perekonomian pengungsi Merapi di Sleman tetap berlangsung, meskipun ternak mereka terutama sapi perah diungsikan di sejumlah kandang penampungan.
“Kalau aktivitas perekonomian warga Kalitengah Lor sampai saat ini masih berlangsung, baik itu yang petani maupun peternak terutama peternak sapi perah,” katanya.
Menurut dia, para peternak sapi perah setiap hari tetap melakukan aktivitasnya, seperti memerah dan memasarkan susu sapi melalui koperasi.
“Aktivitas mereka tetap berjalan, setiap pagi memerah susu dan menyalurkan ke koperasi. Kemudian juga mencari pakan ternak di atas (lereng Merapi). BPBD Sleman juga memfasilitasi kendaraan untuk mengangkut pakan ternak,” katanya.(Anjas)