Setibanya di Gunung Jempol, Parameswara bertemu sosok gaib Dhapunta Hyang (ada kisah yang menceritakan bahwa Bukit Jempol merupakan candi yang dibuat Parameswara ketika menjadi raja di Sriwijaya. Candi alami tersebut sengaja dibuat atas permintaan sosok gaib Dhapunta Hyang sebagai tempat pertapaannya).
Setelah mendapatkan wejangan dari sosok gaib yang pernah menjadi gurunya itu, Parameswara beserta rombongan, berlayar menuju Timur Tengah. Kepergian Parameswara diiringi hingga ke lautan lepas oleh puluhan kapal angkatan laut Sriwijaya. Banyak rakyat Sriwijaya yang menangisi kepergian mantan Raja Sriwijaya itu.
Dalam perjalanan menuju Timur Tengah, Parameswara beserta rombongan, singgah di Temasik (
Singapura) untuk beberapa waktu. Di Temasik, Parameswara dan kapal perangnya dari angkatan laut kerajaan Sriwijaya, sebanyak delapan buah yang bersenjatakan lengkap. Mereka merapat di perairan dangkal.
Ternyata di dalam salah satu kapal tersebut, terdapat salah seorang yang tidak asing lagi bagi Parameswara ketika dirinya menjadi raja di Sriwijaya. Dan orang tersebut adalah Panglima Jairo.
Panglima Jairo menceritakan pada Parameswara, bahwa kini telah diangkat raja baru yang bergelar Raja Sri Sanggramawijayatunggawarman. Tapi sayangnya, raja yang satu ini hanyalah sebagai boneka. Dan kendali pemerintahan di pegang sepenuhnya oleh para menteri.
Parahnya lagi, para menteri tersebut memiliki tujuannya masing-masing tanpa memikirkan negera dan rakyatnya. Panglilma Jairo pun bercerita panjang lebar pada orang yang masih dianggapnya sebagai rajanya yakni Parameswara.
Hati Parameswara terasa perih mendengar cerita dari Panglima Jairo yang baru saja diangkat sebagai Panglima Tertinggi menggantikan Raden Sri Pakunalang yang mengikuti jejak gurunya (Wali Putih) melanglang buana menyebarkan ajaran-ajaran Islam.
Walau tidak begitu lama memerintah di Sriwijaya, namun negeri Sriwijaya sangatlah dicintainya. Namun ada satu hal yang lebih menyakitkan terutama bagi Panglima Jairo. Panglima Jairo diutus oleh Raja Sriwijaya untuk memburu Parameswara yang menurut para menteri dapat menjadi ancaman bagi kerajaan Sriwijaya.
Mendengar cerita dari Panglima Jairo, tentu saja membuat Parameswara marah besar, terlebih ketika sang panglima mengatakan bahwa dirinya saat ini sedang dalam tugas untuk memburu dirinya beserta para pengikutnya. Akan tetapi, hal tersebut tidak mungkin dilakukan bagi seorang Panglima Jairo.
“Palinglima Jairo, kini aku telah dihadapanmu. Mengapa kau belum menjalankan tugas dari rajamu?” Tanya Parameswara dengan nada yang halus.
Tiba-tiba Panglima Jairo bersujud sambil menitikkan air mata. Dia berkata; “Maafkan diriku Tuan Raja. Bagiku Tuan masih rajaku, Raja Sriwijaya.”
Parameswara menjadi terharu mendengar perkataan Panglima Jairo. Terlebih ketika dirinya melihat seluruh prajurit dan awak kapal ikut bersujud dihadapannya tanpa terkecuali. Melihat keadaan tersebut Parameswara berkata.
“Panglima Jairo….Tinggallah dulu disini beberapa hari sambil memikirkan langkah selanjutnya.”
“Baiklah Tuan Raja.” Ucap Panglima Jairo.
Setiap malamnya, Parameswara menjalankan shalat Tahajjud memohon petunjuk-Nya. Pada hari ke-3 usai shalat Tahajjud, Parameswara bermimpi di datangi oleh gurunya yang berjulukan Wali Putih. Dalam mimpi itu Wali Putih berkata;
“Muridku….tundalah dulu niatmu ke Baghdad untuk berguru pada saudaraku. Saranku, pergilah ke Semenanjung Melayu. Tepatnya wilayah yang terdapat penyempitan selat dan tumbuh pepohonan yang disebut oleh penduduk setempat dengan sebutan Malaka. Agama Allah telah masuk disana, Insya Allah kau akan berhasil.”
Setelah bermimpi aneh tersebut, Parameswara beserta panglima-panglima setianya juga Panglima Jairo segera menyusun rencana. Setelah melalui diskusi yang cukup lama, maka Parameswara memutuskan, bahwa Panglima Jairo beserta armada perangnya kembali ke Ibukota Sriwijaya dan melaporkan bahwa mereka tidak berhasil menemukan dirinya.
Akan tetapi, Panglima Jairo menolak dengan penuh rasa hormat. Dan berkata; “Biarlah saya pulang dengan dua kapal saya. Kapal yang lain beserta prajurit ikut Tuan Raja dalam usaha merebut Semenanjung Melayu nanti.”
“Benar Tuan Raja. Kita butuh kapal-kapal itu.” Ujar Panglima Tuan Junjungan yang menyambung ucapan Panglima Jairo.
Akhirnya Parameswara menyetujui rencana panglima-panglima itu. Panglima Jairo kembali ke Sriwijaya dengan alasan mereka berhasil dikalahkan Parameswara beserta pengikutnya. Sedangkan enam kapal lainnya berangkat menuju Semenanjung Melayu bersama Parameswara.
Setibanya dikota Raya, Panglima Jairo segera menghadap dan melaporkan kegagalannya dalam memburu Parameswara. Untunglah Raja Sanggramawijayatunggawarman adalah sosok raja yang berhati lembut. Mendengar kegagalan Panglima Jairo, sang raja hanya berkata, “Dia (Parameswara) memang orang yang hebat dan juga sakti.”
Parameswara beserta pengikutnya yang telah bertambah jumlahnya, segera menuju Semenanjung Melayu. Keenam kapal perang yang tersebut, berhenti di suatu tempat di Semenanjung Melayu. Sedangkan kapal Lancang Kuning yang membawa Parameswara, meneruskan perjalanan menuju wilayah yang kelak bernama Malaka.
Namun diperjalanan, kapal Lancang Kuning dihadang dua buah kapal yang ternyata adalah kapal para perampok yang sering merampok para pelaut dan menjadi buruan-buruan tentara Sriwijaya.
Mengetahui perjalanannya dihadang oleh perampok, Parameswara segera melompat ke salah satu kapal perampok tersebut dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh.
Dengan ilmu-ilmu kanuragan miliknya, para perampok itu dihabisinya semua. Sedangkan para perampok di kapal yang lain dibantai oleh si kembar Panglima Bagus Karang dan Panglima Bagus Sekuning. Yang konon mampu berubah wujud menjadi macan kumbang (Panglima Bagus Karang) dan macan loreng (Panglima Bagus Sekuning).
Ternyata aksi Parameswara dan kedua pengikut setianya itu disaksikan oleh penduduk setempat yang rata-rata adalah
nelayan. Mereka takjub melihat kesaktian Parameswara dan kedua pengikutnya itu.
Tanpa kesulitan yang berarti, Parameswara dan kedua panglimanya itu berhasil menumpas para perampok yang sering merasahkan para pelaut. Parameswara dengan kapal Lancang Kuningnya merapat di daratan. Mereka mendapat sambutan meriah dari penduduk di pesisir Semenanjung Melayu itu.
Parameswara pun berkenalan dengan para penduduk setempat yang dipimpin oleh seorang kepada adat. Dari kepala adat yang oleh penduduk mereka sebut dengan nama Hang Tuah. Di ketahui bahwa tamu yang datang ke tanah kelahiran mereka ternyata adalah mantan raja Sriwijaya, raja yang mereka cintai.
Dari Hang Tuah juga, Parameswara mengetahui bahwa kini peraturan Sriwijaya telah berubah. Para penduduk di setiap penjuru Sriwijaya harus membayar upeti yang tak terkira jumlahnya. Maka Hang Tuah meminta Parameswara memimpin mereka dalam upaya melepaskan diri dari Sriwijaya.
Singkat cerita, Parameswara memimpin para penduduk untuk melakukan pemberontakan. Dibantu oleh para prajurit dan kapal perang dari Panglima Jairo membuat rencana dan taktik yang dijalankan oleh mantan rajanya membuahkan hasil.
Semenanjung Melayu lepas dari tangan Sriwijaya, yang gagal meredam pemberontakan yang dipimpin Parameswara. Suatu hari, Parameswara sedang duduk-duduk bersama Hang Tuah disuatu tempat yang banyak ditumbuhi pepohonan.
Tiba-tiba dari balik pepohonan itu muncul ribuan ekor biawak yang terlihat sangat ganas. Setelah mengetahui bahwa biawak-biawak itu adalah makhluk gaib penunggu daerah tersebut, Parameswara segera mencabut sebilah keris. Keris Si Gentar Alam.