Ini Kata Ahli Hukum Tata Negara Soal Riuh RUU HIP

oleh
oleh
9d17ecd6-0600-4f61-84d4-ef01a1f7ea8e_169

Jakarta, KRSumsel.com – Ahli hukum tata negara (HTN) Bayu Dwi Anggono menyatakan dinamika publik soal urgensi dan substansi RUU dalam suatu negara hukum demokratis adalah hal yang wajar. Namun demikian, dinamika tersebut haruslah diletakkan dalam semangat berusaha mencari persetujuan bersama dan dihindarkan dari tindakan saling mencari menang-menangan.

Pernyataan di atas menyikapi RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang riuh di publik. RUU HIP merupakan RUU inisiatif DPR.

“Meskipun dalam RUU ini ada bagian atau ketentuan yang menimbulkan perbedaan pandangan di masyarakat, namun sesungguhnya secara garis besar keberadaan RUU ini masih memenuhi syarat dapat dibentuknya suatu UU sebagaimana diatur dalam konstitusi maupun UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,” kata Bayu saat berbincang , Selasa (16/6/2020).

Bahwa Pancasila sebagai dasar dan ideologi Negara Republik Indonesia harus diketahui asal usulnya oleh bangsa Indonesia dari waktu ke waktu dan dari generasi ke generasi, sehingga kelestarian dan kelanggengan Pancasila senantiasa diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Selain itu RUU HIP juga dalam rangka melaksanakan Putusan MK Nomor 100/PUU-XI/2013 yang menyatakan:

Pancasila merupakan materi yang penting dan mendasar untuk diketahui, dihayati, dan diamalkan oleh seluruh komponen bangsa pada umumnya.

Bayu mencoba membandingkan dengan pengaturan mengenai kelembagaan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) yang diatur dengan UU 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan. Ada miga Perpustakaan Nasional (Perpusnas) diatur dengan UU 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan. Juga Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) diatur dengan UU 31 Tahun 2009 tentang Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. Begitu pula Kwartir Nasional Pramuka diatur dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka. Serta Palang Merah Indonesia (PMI) diatur dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2018 tentang Kepalangmerahan.”Perlu diketahui saat ini mengenai kebijakan dan strategi untuk pembudayaan dan implementasi Pancasila termasuk aspek kelembagaan yang bertanggung jawab secara khusus baru diatur dalam Peraturan Presiden yaitu Perpres 7 Tahun 2018 tentang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP),” papar Direktur Pusat Kajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Universitas Jember itu.

“Dengan demikian jika ada rencana untuk meningkatkan derajat pengaturan mengenai kebijakan dan strategi pembudayaan Pancasila dalam kehidupan kenegaraan termasuk kelembagaan yang bertanggung jawab secara khusus yaitu dari Peraturan Presiden menjadi Undang-Undang maka hal semacam itu adalah kebijakan hukum terbuka yang diperbolehkan menurut UUD 1945,” cetus Bayu.

Menurut Bayu, sudah jamak dijumpai dalam praktik kenegaraan atas dasar tujuan dan kebutuhan tertentu maka pengaturan kelembagaan yang awalnya ada di Perpres ditingkatkan menjadi UU. Namun demikian terdapat sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi oleh RUU Haluan Ideologi Pancasila agar tidak terkesan menurunkan derajat status kedudukan pancasila sebagai norma dasar negara (grund norm) atau norma fundamental negara (staatfundamental norm) yang kedudukannya di atas UUD 1945 menjadi berkedudukan setingkat UU.

“Persyaratan tersebut adalah dalam RUU HIP hanyalah mengatur strategi bagaimana internalisasi atau pembudayaan Pancasila dalam pengambilan kebijakan atau pembentukan peraturan-perundang-undangan oleh lembaga-lembaga negara, kemudian berbicara strategi bagaimana pendidikan karakter berbasis Pancasila dikembangkan baik pendidikan formal maupun informal, serta bagaimana kemudian kedudukan, organisasi, tugas dan wewenang kelembagaan yang bertanggung jawab melakukan pembudayaan Ideologi Pancasila termasuk jaminan pendanaan dan partisipasi publik dalam pembudayaan Pancasila,” ujar Bayu menjelaskan.

Mengingat RUU HIP sangat terkait dengan kepentingan berbagai golongan dan aliran politik dalam masyarakat, maka pembahasannya harus dilakukan terbuka, dialogis dan partisipatif dengan membuka peluang perbaikan terhadap naskah RUU yang ada seperti perbaikan bagian.

“Mengingat RUU dengan memasukkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang melarang ajaran marxisme-komunisme, kapitalisme-liberalisme dan khilafahisme. Selain itu sebaiknya pengesahannya tidak dilakukan terburu-buru melainkan perlu terus memperluas dan memperlebar ruang masukan dari segenap elemen masyarakat agar tercapai konsensus bersama,” pungkas Bayu.

Sikap Pemerintah: Larangan Komunisme Sudah Final

Menko Polhukam Mahfud Md juga sudah angkat bicara tentang RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP). Mahfud menegaskan hal ini tidak akan terjadi karena pelarangan komunisme di Indonesia sudah bersifat final.

Mahfud juga menjelaskan RUU HIP disusun oleh DPR dan masuk dalam Prolegnas 2020. Tahapan sampai saat ini pemerintah belum terlibat pembicaraan dan baru menerima RUU tersebut.

“Presiden belum mengirim supres (surat presiden) untuk membahasnya dalam proses legislasi. Pemerintah sudah mulai mempelajarinya secara saksama dan sudah menyiapkan beberapa pandangan,” kata Mahfud di acara tersebut seperti tertulis dalam rilis resmi Kemenko Polhukam hari ini.

Mahfud mengatakan, nanti jika saat tahapan sudah sampai pada pembahasan, pemerintah akan mengusulkan pencantuman Tap MPRS No XXV/MPRS/1966 dalam konsiderans dengan payung “Mengingat: Tap MPR No. I/MPR/1966”. Di dalam Tap MPR No. I/MPR/2003 itu ditegaskan bahwa Tap MPR No. XXV/1966 terus berlaku.

Pemerintah, kata Mahfud, akan menolak jika ada usulan memeras Pancasila menjadi Trisila atau Ekasila. Bagi pemerintah, Pancasila adalah lima sila yang tercantum di dalam pembukaan UUD 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945 dalam satu kesatuan paham.

Kelima sila tersebut, lanjut Mahfud, tidak bisa dijadikan satu atau dua atau tiga, tetapi dimaknai dalam satu kesatuan yang bisa dinarasikan dengan istilah ‘satu tarikan napas’.

“Pelarangan komunisme di Indonesia bersifat final. Sebab, berdasarkan Tap MPR No I Tahun 2003, tidak ada ruang hukum untuk mengubah atau mencabut Tap MPRS XXV Tahun 1966,” tegasnya.(*)

SUMBER