Si Tanggang malu untuk mengaku orang tua itu orangtuanya. Kesusahan dan kemiskinan membuat Si Talang dan Si Deruma terlihat begitu lemah dan daif sekali.
“Orangtua kanda? Oh, tidak! Kanda tidak memiliki orang tua lagi. Mereka bukan orang tua kanda. Jangan biarkan kedua pengemis ini naik ke kapal! “Hardik Si Tanggang. Mukanya merah padam karena malu dan marah.
“Oh, anakku, Si Tanggang! Aku ibumu. Ibu ada bawakan pisang salai kegemaranmu, nak “kata Si Deruma.
“Pergi! “Teriak Si Tanggang. Dia memukul jari ibunya yang bergayut pada bagian tepi kapal. Pisang salai yang dibawa ibunya, dibuang ke laut.
Si Talang dan Si Deruma merasa terlalu sedih dan kecewa. Sungguh tidak disangka anak kesayangan mereka telah berubah. Mereka pun mendayung ke tepi.
Ketika tiba di daratan, Si Deruma memandang ke langit. Sambil mengangkat kedua belah tangan dia berseru “Oh, Tuhan! Tunjukkanlah kepada Si Tanggang bahwa akulah ibu kandungnya. “
Tiba-tiba petir berbunyi. Angin bertiup kencang. Kapal yang sedang berlabuh itu terombang-ambing. Ketika itulah, Si Tanggang merasa kesal. Dia sadar Tuhan telah mengabulkan doa ibunya. Dia akan menerima balasannya karena telah memberontak.
“Oh, ibu! Maafkan Tanggang. Tanggang mengaku, Tanggang anak ibu! ‘ teriak Si Tanggang.
Akan tetapi, Si Tanggang sudah terlambat. Gelombang yang kuat memecahkan kapalnya. Ketika badai reda, kapal Si Tanggang menjadi batu. Semua kru juga berubah menjadi batu. Si Tanggang dan istrinya turut menjadi batu. (histori.id)